Genesa Endapan Emas
Emas merupakan salah satu logam mulia yang memiliki nilai tinggi. Emas memiliki karakteristik sectile (lunak, elastis, mudah dibentuk), warna yang menarik (kuning mengkilap tidak mudah memudar), tahan lama, konduktif, dan tahan terhadap panas yang tinggi. Sebanyak 65% emas digunakan untuk industri seni, seperti membuat perhiasan. Selain itu, emas juga digunakan untuk kehidupan sehari-hari seperti peralatan elektronik, uang, medali, kedokteran gigi, dan masih banyak lagi.
Emas sendiri termasuk kedalam logam transisi yang bersifat lunak kekerasannya berkisar antara 2,5 – 3 Mhos. Karena sifatnya yang relatif lunak, emas akan dicampur dengan logam lain seperti platinum, iridium, nikel, atau zink. Untuk itu perlu adanya ukuran kemurnian emas yaitu karat. Karat merupakan unit sama dengan 1/24 bagian dari emas murni dalam alloy (emas yang dipadukan dengan logam lain). Dengan demikian, emas 24 karat (24K) adalah emas murni. Sedangkan emas 18 karat berarti bahwa material tersebut tersusun atas 18 bagian emas murni dan 6 bagian berupa logam lainnya, atau bisa disebut kandungan emasnya sebesar 75% (18/24).
Emas sebagai salah satu logam tertua yang digunakan oleh manusia, telah ditambang sejak tahun 2000 sebelum masehi oleh bangsa-bangsa di dataran Mesir (Mesir, Sudan, dan Arab Saudi). Sedangkan untuk deposit emas terbesar ditemukan di Precambrian Witwatersrand, Afrika Selatan. Indonesia juga memiliki potensi endapan emas hampir di setiap daerah Indonesia, seperti Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Kepulauan Riau, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Mauku, dan Papua. Indonesia juga pernah menjadi penghasil emas terbesar di Asia Tenggara sebelum Perang Dunia II.
Emas di alam ditemukan dalam dua tipe, yaitu endapan primer dan endapan sekunder (placer). Endapan emas primer terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan batuan. Endapan tipe ini terbentuk akibat adanya proses magmatisme. Pada proses magmatisme ini magma mengalami diferensiasi sehingga akan terbentuk endapan mineral sulfida dan oksida. Sebelum kristalisasi berakhir akan terbentuk larutan sisa magma yang mudah bergerak (larutan hidrotermal). Larutan hidrotermal (air magmatik) ini membawa ion sulfida, ion klorida, ion natrium, dan ion kalium yang mengangkut logam emas ke permukaan. Larutan hidrotermal tersebut naik ke atas permukaan melalui zona struktur seperti patahan, sesar, rekahan, dan kontak lithologi. Ketika larutan hidrotermal bercampur dengan air meteorik akan terjadi pendinginan yang menyebabkan ion sulfida dan ion klorida yang membawa emas terendapkan. Endapan ini membentuk urat-urat (vein) sesuai bentuk rongga yang ada.
Endapan emas sekunder atau yang lebih dikenal sebagai endapan emas aluvial merupakan emas yang diendapkan bersamaan dengan endapan sedimen. Endapan ini terbentuk akibat proses oksidasi dan sirkulasi air yang terjadi pada endapan emas primer. Proses tersebut menyebabkan mineral emas terlepas dan terendapkan kembali pada rongga-rongga batuan atau pori batuan. Proses erosi yang terjadi ini menghasilkan endapan emas aluvial/placer. Butiran emas pada endapan sekunder cenderung lebih besar dibandingkan dengan butiran endapan primer.
Referensi:
Bateman, A.M. & Jensen, M.L., 1981. Economic Deposits, John Wiley & Sons, Inc, Canada, 261 - 268.
Goldfarb, R. J., Groves, D. I., & Gardoll, S. (2001). Orogenic gold and geologic time: a global synthesis. Ore geology reviews, 18(1-2), 1-75.
Liu, J., Dai, H., Zhai, D., Wang, J., Wang, Y., Yang, L., ... & Li, Q. (2015). Geological and geochemical characteristics and formation mechanisms of the Zhaishang Carlin-like type gold deposit, western Qinling Mountains, China. Ore Geology Reviews, 64, 273-298.
Phillips, G. N., & Powell, R. (2009). Formation of gold deposits: Review and evaluation of the continuum model. Earth-Science Reviews, 94(1-4), 1-21.